Ambulans: Asumsi Jalanan dan Logika yang Salah Kaprah

Mobil putih dengan strobo merah menyala. Sirene melolong memecah keheningan atau kekacauan lalu lintas. Tapi entah mengapa, banyak pengendara memilih menepi dengan malas, berpura-pura tuli, atau lebih buruk lagi, menilai kehadiran ambulans sebagai hal yang bisa dinegosiasikan.

Ambulasn Toyota Hiace Commuter Transmisi Manual
Seolah-olah ambulans itu bagian dari permainan kecepatan, bukan simbol waktu yang sedang berdetak menuju hidup atau mati. Dan di tengah hiruk pikuk jalanan Jakarta yang absurd ini, terselip satu pertanyaan klasik yang sering terdengar dari balik kemudi motor matic atau kaca mobil berlapis kaca film gelap:

"Emangnya di dalamnya ada pasien?"

Ah, logika yang menyesatkan sekaligus mematikan.

Jalanan yang Sok Tahu

Dalam culture lalu lintas kita, ambulans bukan hanya kendaraan medis. Ia adalah simbol dari dua sisi masyarakat, yang empatik dan yang skeptis. Yang satu akan segera menepi, bahkan membuka ruang selebar mungkin di tengah kemacetan padat, karena sadar bahwa setiap detik bisa menyelamatkan nyawa. 

Yang satu lagi... akan memicingkan mata, berkomentar sinis di dalam hati:

“Palingan kosong. Cuma mau ngebut doang.”

Dan sayangnya, kelompok kedua itu tidak sedikit.

Mereka hidup dalam asumsi jalanan.

Mereka percaya bahwa sirene hanya boleh dinyalakan kalau ada pasien di dalam.

Mereka berpikir bahwa prioritas hanya pantas diberikan pada ‘yang terlihat menderita’.

Tapi siapa yang mengajarkan mereka logika seperti itu?

Logika Salah Kaprah

Harus Ada Pasien Dulu.

Mari kita kupas logika rusak itu.

Ambulans bukan hanya kendaraan pengantar pasien. Ia adalah sistem darurat yang bergerak dari satu titik ke titik lain dengan urgensi, entah itu menuju TKP, mengantar tim medis, membawa peralatan resusitasi, atau bahkan menjemput pasien yang sedang sekarat.

Bayangkan ini:

  • Ambulans baru keluar dari rumah sakit karena ada laporan pasien henti napas di sebuah rumah.

  • Sirene dinyalakan, lampu strobo berkedip merah.

  • Di tengah jalan, seseorang di mobil Avanza warna silver menggerutu:

  "Ah, kosong itu mah. Nggak usah dikasih jalan."

Ambulans terhambat selama satu menit, dua menit, tiga menit, sampai sepuluh menit.

Dan di titik lain kota, napas terakhir itu keluar… karena ambulans terlambat lima menit.

Jadi... apakah pasien harus sudah ada di dalam untuk bisa dikatakan darurat?

Tugas Ambulans Tidak Satu Arah

Sebagian masyarakat masih menganggap ambulans itu hanya pengantar pasien ke rumah sakit

Tapi dunia kedaruratan jauh lebih kompleks. 

Berikut beberapa skenario yang sering terjadi namun jarang diketahui:

  • Ambulans menjemput tim medis ke lokasi bencana. Karena tim medis tak selalu standby di dalam ambulans.

  • Ambulans membawa inkubator kosong ke rumah sakit yang membutuhkan. Inkubator tersebut akan membantu menyelamatkan bayi prematur yang baru saja lahir.

  • Ambulans membawa pasien donor organ, atau malah organ donor itu sendiri. Di sini, waktu adalah faktor kunci yang bahkan bisa mengubah takdir hidup orang lain.

  • Ambulans menjadi mobile ICU dengan kru dokter dan perawat yang sedang menangani pasien di dalam. Kadang harus berpindah antar rumah sakit, atau bahkan naik pesawat medis.

Di semua skenario ini, sirene menyala. 

Tapi apakah jalanan paham?

Asumsi Jalanan yang Menyesatkan

Ada semacam street myth yang masih dipercaya banyak orang:

"Kalau ambulans kosong, jangan dikasih jalan. Nanti disalahgunakan."

Sungguh logika prematur yang muncul dari budaya curiga berlebihan. 

Kita hidup dalam masyarakat yang trauma dengan penipuan, penyalahgunaan jabatan, dan lampu strobo bajakan. Sayangnya, trauma itu kita tumpahkan kepada semua hal, termasuk kepada ambulans yang sah dan sedang menjalankan misi penyelamatan.

Kita lupa, bahwa:

Lebih baik memberi jalan kepada ambulans kosong daripada menyesal karena ambulans penuh pasien yang tak sempat tiba di rumah sakit tepat waktu.

Dunia Medis Tidak Berjalan di Atas Asumsi

Satu hal yang harus kita terima:

  • Kita bukan hakim di jalanan.

  • Kita tidak bisa, dan tidak berhak, mengadili apakah ambulans itu layak mendapatkan prioritas hanya berdasarkan dugaan visual.

  • Kita tidak tahu beban psikologis yang sedang dibawa kru di dalamnya.

  • Kita tidak tahu siapa yang sedang ditunggu di ujung sana.

  • Dan kita tentu tidak mengetahui. . . apakah saat ini sedang berlomba dengan ajal.

Mungkin satu-satunya hal yang harus kita tahu adalah, kasih jalan, sekarang juga.

Di Balik Kemudi Ambulans

Saya sering duduk di belakang kemudi ambulans.

Tidak sekali dua kali, tapi berkali-kali.

Dan saya bisa berkata:

Tidak ada yang lebih membuat jantung deg-degan dibanding saat melihat mobil di depan enggan menepi, meski sirene sudah meraung, lampu sudah berkedip, pemberitahuan dengan microfon dan klakson sudah ditekan bertubi-tubi.

Ada rasa frustasi yang tak bisa dijelaskan.

Bukan karena ego. Tapi karena tahu, waktu yang hilang... bisa berarti hidup yang hilang.

Kami bukan pembalap. Kami hanya sedang mengantar harapan.

Dan harapan itu rapuh kalau harus berhenti di lampu merah karena asumsi publik yang keliru.

Regulasi yang Tak Dikenal

Dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, kendaraan yang mendapatkan hak utama di jalan adalah:

  • Pemadam kebakaran yang sedang melaksanakan tugas

  • Ambulans yang mengangkut orang sakit

  • Kendaraan untuk memberi pertolongan pada kecelakaan lalu lintas

  • Kendaraan pimpinan Lembaga Negara, dan seterusnya...

Tapi, perhatikan baik-baik, “ambulans yang mengangkut orang sakit” memang tertulis, tapi dalam praktik dunia kedaruratan, angkut itu bisa berarti dalam perjalanan untuk menjemput.

Regulasi kadang tidak selengkap kenyataan.

Dan kenyataan kadang tidak sempat menunggu regulasi.

Maka, sekali lagi, logika kita harus berada di sisi empati, bukan skeptisisme.

Budaya Jalanan yang Perlu Di-reset

Kita perlu mengubah cara pandang.

Bukan sekadar edukasi, tapi reset kultural.

Karena selama kita masih berpikir bahwa “ambulans hanya penting kalau ada pasien di dalamnya”, maka kita telah mengabaikan satu hal penting, niat menyelamatkan. Dan niat itu tidak selalu terlihat oleh mata, tapi harus selalu diberi ruang di jalanan.

Kesimpulan

Jangan Jadi Hakim di Jalanan. Jika suatu hari nanti kau melihat ambulans di kaca spion, dengan strobo yang berkedip dan sirene yang meraung, jangan tanya “Ada pasien nggak di dalamnya?”

Tanyakan pada hatimu:

“Kalau itu anakku, ayahku, ibuku... apakah aku mau semua orang kasih jalan?”

Karena nyawa tak pernah bisa dinilai dari apakah ia sudah berada di dalam ambulans… atau sedang menunggu ambulans yang terhalang logika-logika keliru.

Secret Driver, over and out: Dari balik kemudi yang tak pernah tahu kapan giliran kita masuk ke belakang sana, dalam ruang putih yang diselimuti sirene dan harapan.

Post a Comment for "Ambulans: Asumsi Jalanan dan Logika yang Salah Kaprah"