Ambulans: Sebuah Pengakuan Bahwa Kita Tak Kebal

Di tengah simfoni kekacauan jalanan, klakson yang saling membentur, motor yang melesat seperti peluru, dan mobil-mobil yang saling mendesak seperti manusia yang tak sabar menua, tiba-tiba terdengar suara yang berbeda. 
Ambulans Toyota Hiace parkir depan IGD rumah sakit Tanah Abang, siap siaga untuk panggilan darurat
Bukan karena nadanya lebih keras, tapi karena maknanya lebih dalam. Sirene ambulans. Pekik panjang yang tak hanya menembus kemacetan, tapi juga menembus ego manusia. Ambulans bukan sekadar kendaraan medis. Ia bukan hanya mobil putih dengan rotator merah dan tulisan "Puskesmas" atau "RSUD" di sisi pintunya. 

Ia adalah pengakuan kolektif, bahwa di tengah segala ilusi kekuasaan dan kecepatan, tubuh ini tetaplah rapuh. Di kota yang membanggakan teknologi dan kekayaan, ambulans hadir sebagai antitesis, simbol bahwa kita semua pada dasarnya lemah, fana, dan sewaktu-waktu bisa tumbang.

Kota yang Sombong, Tubuh yang Rapuh

Jakarta. Sebuah kota yang aktif bersiap-siap menyongsong masa depan. Gedung tinggi, MRT, jalan tol layang, mobil listrik, motor otonom, semuanya berbisik bahwa manusia adalah penguasa zaman. 

Namun di tengah modernitas yang megah itu, ambulans tetap harus menyalakan sirenenya. Memohon jalan. Memohon pengertian. Seperti seorang pengemis yang meminta belas kasihan di tengah pesta orang kaya.

Apa yang bisa lebih ironis dari itu?

Ketika ambulans meraung di belakang mobil-mobil mewah, kadang tak satu pun memberi jalan. Seolah kekebalan mereka terhadap etika lebih kuat daripada pemahaman bahwa nyawa sedang dipertaruhkan. 

Di sinilah letak kebenaran paling menyakitkan, manusia modern bukan hanya sombong, tapi juga pelupa. Kita lupa bahwa suatu hari nanti, bisa jadi kita sendiri yang berada di dalam ambulans itu, tak berdaya, dengan selang di hidung dan napas yang tercekat.

Sirene: Doa yang Diteriakkan

Saya selalu percaya bahwa suara sirene ambulans adalah semacam doa. Bukan doa yang dibisikkan, tapi diteriakkan. Bukan karena Tuhan tuli, tapi karena manusia yang sibuk menutup telinga. Sirene itu berkata, “Tolong beri jalan, ada yang sedang bertarung dengan kematian.”

Namun kita, di balik kemudi mobil pribadi atau di atas jok motor matic, kadang terlalu sibuk dengan notifikasi ponsel dan jadwal rapat. Kita membentengi diri dengan argumen-argumen bodoh, "Lagian dia juga telat", "Kenapa gak pakai jalur lain?", atau "Macetnya bukan salah gue."

Lalu kita kembali ke rutinitas, merasa aman dalam kesibukan. Tapi seberapa aman sebenarnya? Mungkin kita belum sadar bahwa setiap klakson yang tak mau memberi jalan pada ambulans, sebenarnya sedang menggali kuburan untuk empati kita sendiri.

Filsafat Ambulans: Kematian dalam Lalu Lintas

Jika Plato hidup di zaman ini, mungkin ia akan menulis “Ambulans adalah kendaraan ide, ide tentang kefanaan.” Karena setiap ambulans membawa dua hal sekaligus, harapan untuk hidup dan ketakutan akan mati. Ia adalah mobil yang membawa paradoks, optimisme dan tragedi duduk berdampingan.

Di dalam kabin belakangnya, ada napas yang ditahan, darah yang mengucur, dan detak jantung yang berpacu melawan waktu. Tapi dari luar, kita hanya melihat kendaraan yang memperlambat laju kita menuju mall. 

Betapa sering kita menyederhanakan realitas menjadi hanya soal kenyamanan pribadi. Ambulans adalah metafora keras tentang hidup, bahwa bahkan di tengah kota yang tampak hidup, selalu ada seseorang yang sedang sekarat.

Menjadi Pengemudi Ambulans: Di Ujung Antara Waktu dan Takdir

Saya adalah sopir ambulans. Bukan karena saya suka kecepatan, tapi karena saya menyukai kejujuran yang dibawanya. Tak ada yang lebih jujur dari manusia yang sedang berjuang untuk hidup. Ia tak peduli lagi pada jabatan, harta, atau reputasi. Yang ia mau hanya satu, waktu.

Dan saya, di balik kemudi, adalah penjaga waktu itu.

Tiap detik menjadi suci. Tiap lampu merah jadi penghalang takdir. Setiap kendaraan yang tidak mau memberikan jalan menjadi refleksi dari karma bersama. Saya pernah mendengar sebuah kisah tentang seorang ayah muda dengan luka terbuka di dadanya. Istrinya menangis di samping tandu, menggenggam tangan yang mulai dingin. Sang pengemudi melaju secepat yang ia bisa. 

Tapi jalanan tak peduli. Mereka mendahulukan jalan pulang daripada kehidupan orang lain. Di ruang gawat darurat, napas sang ayah berakhir. Si pengemudi tak tahu siapa yang lebih bersalah, kemacetan, atau manusia yang tidak peka.

Ambulans Adalah Cermin

Pernahkah kita bercermin pada ambulans? Ia adalah kendaraan yang tidak memilih siapa yang ia tolong, pejabat atau gelandangan, tua atau muda. Ambulans tidak membawa stigma, hanya membawa kebutuhan dasar manusia, untuk tetap hidup. Namun lucunya, kita memperlakukannya seperti kendaraan pengganggu.

Ambulans mencerminkan dunia yang sedang terluka. Dan bagaimana kita merespons kehadirannya mencerminkan siapa kita sebenarnya. Apakah kita manusia yang beradab, atau hanya makhluk dengan SIM dan ego?

Ironi Jalan Raya

Satu kejadian yang selalu teringat di pikiran saya. Saat itu malam hari, dan saya mengantar seorang pasien covid ibu hamil. Di lampu merah pramuka, sebuah mobil sport, mahal dan mencolok, tidak mau bergeser. Saya membunyikan sirene, menyalakan rotator, bahkan mengedipkan lampu jauh.

Dia tetap diam. 

Pura-pura tuli.

Pasien di belakang saya menjerit menahan sakit,  perjalanan malam itu cukup menegangkan. Situasi itu membuat saya menyadari satu hal, ego di balik setir jauh lebih berbahaya dari lubang jalan yang menganga.

Kita Semua Calon Penumpang

Yang membuat saya tetap menghormati pekerjaan ini bukan gaji, bukan juga seragam. Tapi kesadaran brutal bahwa kita semua adalah calon penumpang. Mungkin bukan hari ini, bukan besok. Tapi pada satu titik dalam hidup, tubuh ini akan menyerah, dan kita akan dibaringkan di tandu logam itu.

Tak peduli seberapa sering kita push-up di gym, minum vitamin, atau makan organik, tubuh tetaplah mesin yang akan aus. Dan saat itu tiba, kita akan berharap dunia memberi jalan. Bukan hanya untuk ambulans, tapi untuk nyawa kita agar bisa kembali.

Memberi Jalan, Memberi Kesempatan

Kadang, hanya dengan menggeser mobil ke kiri, kita bisa memberi seseorang hari ulang tahun ke-50-nya. Dengan sedikit empati, kita bisa memberi sepasang orang tua kesempatan memeluk anak mereka sekali lagi. Kita bukan Tuhan. Tapi kita bisa memilih untuk tidak menjadi penghalang takdir orang lain.

Kesimpulan

Di Balik Sirene, Ada Jiwa. Setiap kali saya menghidupkan sirene, saya tahu saya sedang membawa lebih dari sekadar pasien. Saya membawa pengakuan tak terucap bahwa kita semua tidak kebal. Kita semua rentan. Kita semua bisa sakit, bisa terluka, dan pada akhirnya bisa mati.

Ambulans tidak akan pernah menjadi bagian dari tren. Ia tidak akan viral karena desain atau fitur. Tapi justru di situlah kekuatannya, ia tetap, konstan, seperti kematian itu sendiri.

Dan jika ada satu hal yang bisa kita pelajari darinya, itu adalah bahwa setiap detik adalah kesempatan. Bukan hanya untuk hidup, tapi untuk bersikap lebih manusiawi. Jadi lain kali ketika Anda mendengar sirene di kejauhan, jangan hanya menggerutu. 

Geser. 

Beri jalan. 

Karena mungkin, tanpa Anda sadari, Anda sedang memberi kesempatan terakhir bagi seseorang untuk tetap hidup. Dan lebih dari itu, Anda sedang mengakui satu hal penting, bahwa Anda, sama seperti kami semua, tak kebal.  Mengemudi di batas antara jalan raya dan filosofi kehidupan - Secret Driver

Post a Comment for "Ambulans: Sebuah Pengakuan Bahwa Kita Tak Kebal"