Transmisi Manual, Hukum Kota, dan Ritme yang Tak Pernah Sinkron
Mengurai kontradiksi antara mesin dan sistem, antara gigi dan realita, antara ambulans dan Jakarta. Ada jeda antara gigi dua dan gigi tiga yang tidak pernah bisa dijelaskan oleh buku manual. Sebuah kehampaan mikrodetik yang hanya bisa dirasakan oleh telapak kaki kanan yang mulai lelah menari di atas pedal gas. Sebuah detik kosong yang, di kota seperti Jakarta bisa jadi ruang antara hidup dan mati.
Saya menyebutnya, ritme yang tak pernah sinkron. Sebuah ketidakharmonisan abadi antara mesin dan sistem. Antara kerja logam dan logika hukum. Antara idealisme rekayasa otomotif dan kenyataan jalanan yang dipenuhi ego.
Dan saya duduk di atasnya setiap hari. Di kursi pengemudi sebuah ambulans manual, menyusuri ibu kota dengan kecepatan yang sering kali lebih lambat dari irama nyawa yang saya bawa di kursi belakang.
Mesin yang Jujur di Kota yang Licik
Transmisi manual merupakan jenis kejujuran yang paling sederhana pada sebuah mobil. Ia tidak menipu, tidak mengatur. Ia mengajak. Mengajak untuk memahami, mengajak untuk bekerja sama.
Tidak seperti matic yang memanjakan, manual memaksa pengemudi untuk berpikir, merasakan, menyesuaikan. Dalam setiap pergeseran tuas, ada keputusan. Dalam setiap injakan kopling, ada pertimbangan.
Tapi Jakarta bukan kota yang jujur.
Jakarta adalah labirin hukum kota dan kepentingan pribadi yang bersembunyi di balik sirene, marka jalan, dan CCTV yang hanya bekerja saat sedang tidak dibutuhkan. Jakarta adalah kota di mana lampu merah bisa berarti 'gas saja kalau mobil dinas’, dan marka kuning cuma hiasan yang dicat ulang menjelang kunjungan pejabat.
Maka ketika mesin jujur itu, transmisi manual berhadapan dengan sistem kota yang ambigu, kontradiksi pun terjadi. Dan saya, Secret Driver, adalah penafsir sehari-hari dari absurditas itu.
Kopling, Gigi, dan Ketimpangan Waktu
Ambulans manual tidak dirancang untuk kota yang tidak memberi ruang bagi yang darurat. Setiap kali saya berpindah dari gigi dua ke gigi tiga, saya seperti harus membagi fokus ke empat sisi sekaligus:
- Perpindahan RPM agar tidak mati di tanjakan.
- Mencari celah di antara motor yang lebih memilih hidup sebagai selap-selip daripada kendaraan.
- Mengatasi polisi tidur yang terlalu tinggi di depan kompleks Semboja.
- Menahan emosi saat disalip metromini yang remnya bisa jadi lebih usang dari undang-undang lalu lintas.
Saya berada dalam ritme yang kacau. Mesin saya punya logika; kota ini tidak. Gigi satu mengharapkan jalan kosong, tapi jalanan Jakarta hanya memberi janji yang tidak ditepati. Gigi dua ingin berlari, tapi trotoar dicuri untuk parkir.
Gigi tiga mengharapkan kestabilan, tapi lubang di jalan hanya muncul saat roda sudah di atasnya. Saya tidak sedang menyetir mobil. Saya sedang menjinakkan dua entitas yang tak pernah benar-benar mau akur, mesin dan kota.
Hukum Kota: Ketika Sirene Harus Minta Maaf
Kau pikir ambulans dengan sirene akan otomatis diberi jalan? Salah. Di Jakarta, sirene bukan lagi tanda darurat. Ia telah didemokratisasi oleh konvoi pejabat, iring-iringan jenazah, dan entah siapa yang memodif motor 150 cc-nya dengan suara klakson kereta api. Maka ketika saya aktifkan sirene, yang terjadi bukan hormat, tapi tatapan curiga.
"Ah, paling pura-pura darurat."
Dalam hukum kota, suara tidak lagi bermakna. Hanya posisi sosial yang menentukan siapa yang berhak melanggar lampu merah. Saya pernah dihentikan oleh seorang petugas di perempatan. Sirene sudah menyala, lampu rotator berkedip seperti malam pesta. Tapi tangan si petugas mengangkat seperti sedang menyetop angkot.
Saat saya turunkan kaca dan menjelaskan bahwa pasien di belakang sedang kritis, dia hanya melirik dan berkata, "Tunggu sebentar pak." Jakarta mengajarkan satu hal, bahkan nyawa pun bisa menunggu, kalau yang datang bukan dari golongan yang dianggap penting.
Transmisi Manual Tidak Butuh Izin
Di balik semua ini, saya tetap memilih manual. Karena hanya di sanalah saya bisa merasa masih berdaulat atas kecepatan, atas momentum, atas keputusan.
Mobil matic terlalu patuh pada algoritma. Ia memilih gigi berdasarkan prediksi, bukan insting. Ia menunda akselerasi karena menganggap itu lebih hemat. Padahal, dalam dunia ambulans, delay satu detik bisa berarti tragedi.
Transmisi manual tidak minta izin untuk berpindah. Ia hanya butuh komitmen. Dan itu pula yang saya lakukan setiap hari, berkomitmen pada nyawa yang saya bawa, meski kota ini tak selalu berpihak.
Kontradiksi yang Tidak Bisa Diatasi, Hanya Diterima
Setiap hari saya mengendarai sebuah paradoks. Ambulans saya dirancang untuk kecepatan, tapi kota ini dibangun untuk stagnasi. Transmisi saya menawarkan kontrol, tapi hukum kota penuh ketidakpastian.
Saya adalah seorang pengemudi profesional dengan pelatihan gawat darurat, tapi masih harus meminta jalan dari anak SMA yang baru belajar naik motor dan lebih memilih main HP daripada minggir.
Saya mulai menyadari, mungkin memang tidak semua hal harus sinkron. Ada keindahan dalam disharmoni ini. Ada pelajaran dalam setiap jeda kopling yang terlalu lama, dalam setiap bunyi klakson yang diabaikan, dan dalam setiap gigi yang terlalu cepat diganti. Saya belajar bahwa mengemudi bukan soal sampai tujuan secepat mungkin. Tapi tentang bagaimana bertahan dalam sistem yang tidak dirancang untuk bergerak.
Filosofi Gigi Tiga: Bukan Soal Kecepatan, Tapi Ketepatan
Gigi tiga adalah tempat netral paling dinamis. Ia bukan lambat seperti gigi satu, bukan juga agresif seperti gigi empat. Ia ada di tengah, cukup cepat untuk melaju, cukup lambat untuk berhenti jika perlu.
Dan di situlah saya hidup.
Sebagai pengemudi ambulans manual di Jakarta, saya hidup di gigi tiga yang abadi. Sebuah metafora tentang bagaimana menjadi cukup fleksibel untuk beradaptasi, tapi cukup keras kepala untuk tidak menyerah. Gigi tiga mengajari saya bahwa tidak semua harus sinkron. Kadang, ritme kita memang berbeda dari dunia. Tapi bukan berarti kita salah.
Kesimpulan
Di Antara Mesin dan Sistem, Kita Harus Tetap Hidup. Saya tidak ingin menyalahkan sistem. Karena sistem adalah entitas yang terlalu besar untuk disalahkan, tapi terlalu lemah untuk diandalkan. Saya juga tidak ingin menyalahkan warga. Karena mereka pun hidup di kota yang ritmenya seperti drum patah.
Tapi saya ingin mencatat. Merekam. Menyampaikan bahwa di balik sirene yang meraung, ada pengemudi yang harus berdamai dengan absurditas. Yang harus menjaga nyawa di kursi belakang sambil menjaga kopling agar tidak hangus. Yang harus memilih kapan harus melanggar aturan demi etika, dan kapan harus patuh demi absurditas.
Inilah Jakarta. Kota yang tidak sinkron dengan kecepatan. Kota yang menuntut kesabaran di tengah kedaruratan. Kota yang memaksa kita belajar seni mengemudi dengan intuisi, bukan logika.
Dan di tengah semua itu, saya Secret Driver akan tetap menyusuri jalan, mengganti gigi di waktu yang mustahil, dan berharap bahwa suatu hari, mesin dan sistem bisa menari dalam satu ritme.
Tapi sampai hari itu tiba, saya akan terus menari dalam kekacauan. Dengan kopling di kaki kiri, harapan di kaki kanan, dan kejujuran mesin di bawah tangan. Karena tak semua yang bersuara keras bisa benar-benar didengar. Kadang, hanya tulisan yang bisa mengabarkan ritme yang tak pernah sinkron. - Secret Driver
Post a Comment for "Transmisi Manual, Hukum Kota, dan Ritme yang Tak Pernah Sinkron"
Post a Comment
Mohon berkomentar dengan bijak!